05 September, 2008

"Perlukah Sekolah?"

Kemarin sore, sepulang kantor, saya menyempatkan diri berjalan-jalan bersama istri dan kedua anak saya. Ujung-ujungnya sih cari jajanan. Istri dan anak saya yang pertama ingin makan sate padang, maka jadilah kita membeli sate padang. Sementara anak saya yang paling kecil belum mengerti untuk memilih, maka kita belikan bubur. Cerita sebenarnya bukan di sini, tapi pada apa yang kami temukan di kios tukang somay. Sore itu, sebenarnya saya tidak punya hasrat untuk jajan. Di dekat tempat istri saya membeli sate padang, banyak terdapat jajanan. Ada gorengan, kebab, martabak, otak-otak, pempek, soto mie, dan banyak lagi. Tapi, karena sore itu saya benar-benar tidak berhasrat, maka jajanan yang terpampang di depan mata tetap tidak menarik perhatian saya.


Saya tertarik membeli somay ketika menunggu istri saya memesan bubur untuk anak saya yang paling kecil. Entah kenapa, pilihan jajanan saya jatuhkan ke somay itu. Di kios somay, seorang anak yang mungkin usianya baru 12 tahun menyambut kami. Sebatang rokok yang barusan diisapnya terselip di antara jari tangannya. Sebagai seorang ayah, saya pribadi merasa agak aneh dengan apa yang saya lihat. Soalnya, saya membawa anak saya dan tentunya dia paham apa yang dia lihat. Takutnya, dia menganggap merokok bagi anak-anak adalah hal yang dibolehkan. Saya sudah menyiapkan jawaban kalau seandainya anak saya bertanya.


Seperti biasa, istri saya langsung memesan satu porsi somay sesuai kesukaan saya. Sambil menunggu, istri saya iseng mengajak bicara penjual somay itu. Kurang lebih dialognya seperti ini: "Kamu udah kelas berapa dik?" tanya istri saya. "Baru aja lulus SD," jawab anak itu. Istri saya kemudian balas bertanya: "Berarti sekarang udah SMP dong." "Nggak, saya nggak nerusin," kata anak itu. "Males. Sekolah capek," lanjutnya. "Terus, orang tua kamu ke mana? Kok kamu yang jualan?" tanya istri saya lagi. Sambil menjumputi somay satu per satu ke dalam plastik, anak itu menjawab: "Emak tinggal di kampung. Bapak nggak tahu sekarang pergi ke mana. Paling cari cewek." Istri saya sepertinya kaget dengan jawaban polos anak itu.


Jadilah fenomena kios somay itu pembicaraan kami di sepanjang perjalanan pulang. Anak yang putus sekolah dan seorang bapak yang suka bermain perempuan, tanpa malu diketahui anaknya. Dua hal yang menurut kami menarik, pertama soal pendidikan, dan kedua soal orang tua anak itu, atau lebih tepatnya tentang norma di dalam keluarga. Muncul pertanyaan dalam diri saya: "Benarkah pendidikan itu penting di kalangan mereka atau hanya sekedar buang-buang waktu dan tenaga?" Atau pertanyaan yang lebih struktural: "Sudahkah pendidikan menjawab kebutuhan mereka?"



Pendidikan sangat penting. Apalagi di Indonesia, pendidikan erat terkait dengan kesempatan bekerja. Idealnya, semakin terdidik, semakin luaslah kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, di Indonesia mungkin tidak bisa seideal itu. Lihat saja berita pengangguran di surat-surat kabar. Berapa persen yang merupakan pengangguran terdidik. Mungkin saja, sempat terlintas di benak anak penjual somay itu, atau mungkin di benak bapaknya, "Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau hanya jadi pengangguran? Cuma buang-buang tenaga dan biaya saja." Saya pikir, kalau paradigmanya seperti ini, tidak benar juga. Bisa jadi juga, paradigma seperti ini tidak hanya dianut oleh keluarga anak penjual somay tadi. Nah, mengenai pendidikan ini sebenarnya tugas siapa sih? Kalau menurut saya, tugas keluarga dan juga pemerintah. Amat disayangkan, kalau keluarga-keluarga di Indonesia sudah sadar akan pentingnya pendidikan, sementara pemerintahnya tidak mendukung. Begitu pula sebaliknya. Namun sayangnya, yang terjadi di Indonesia, pemerintah atau negara belum sepenuhnya peduli mengenai pentingnya pendidikan dan masa depan anak-anak. Tidak perlu dijelaskan lebih jauh, sepertinya sebagian besar dari kita tahu seperti apa carut marutnya pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia justru membuat orang kehilangan harapan. Selain biayanya mahal, fasilitas juga kurang memadai. Kalaupun ada biaya BOS, tidak jelas juntrungannya untuk apa. Kemampuan di murid di pelosok dan kota-kota besar juga tidak merata, tapi ketika ujian diberi soal yang bobotnya sama. Memang, mengurus pendidikan bukanlah hal yang mudah. Namun, kalau ada usaha tentunya bisa lebih baik lagi keadaannya. Selain keluarga, pemerintah juga perlu memberi kesadaran kepada masyarakat bahwa pendidikan itu penting. Bahwa pendidikan tidak semata-mata untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Atau bahwa pendidikan itu penting karena tidak semata-mata untuk memenuhi bursa tenaga kerja. Kalau paradigma yang diusung masih untuk memenuhi target kurikulum atau bursa kerja, bisa jadi yang sering muncul keluhan "capek deh!".


Kisah anak penjual somay yang saya sampaikan mungkin hanya salah satu kisah. Memajukan pendidikan juga menjadi tanggung jawab kita selaku orang tua. Namun demikian, pemerintah tidak bisa begitu saja lepas tangan, mengingat bahwa pendidikan juga merupakan tanggung jawab pemerintah lewat lembaga dan dinas-dinas terkait. Pendidikan juga bukan hanya hak segelintir orang yang berduit, tapi adalah hak semua orang. Bukankah negara akan punya daya saing yang cukup kalau punya sumber daya yang juga cukup kuat?

1 komentar:

infogue mengatakan...

artikel anda:

http://pendidikan.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/_perlukah_sekolah_

promosikan artikel anda di infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler,telah tersedia widget shareGue dan nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!