10 September, 2008

PREPOSITIONS FOR BEGINNERS


Bahasa Inggris, pada tahun-tahun terakhir ini sepertinya sudah bukan lagi hal yang baru untuk anak-anak. Kalau dulu, pada masa saya bersekolah baru diajarkan pada kelas 1 SMP, atau paling cepat, biasanya di tempat-tempat kursus yang dulu juga masih sangat jarang pada usia kelas 5 SD, di era sekarang ini, mulai anak usia 1 tahun, sudah belajar bahasa Inggris. Maklum, globalisasi sudah merambah ke semua hal. Banyak produk ataupun bentuk interaksi menggunakan bahasa Inggris, begitu pula di ranah pendidikan.

Serial mengenai preposisi ini, tidak dimaksudkan untuk mencekoki anak-anak Anda dengan bahasa Inggris, apalagi anak-anak Anda yang masih batita. Target pembaca buku ini adalah anak-anak usia 6-9 tahun dan yang baru mulai belajar bahasa Inggris. Namun demikian, materi tidak perlu jadi halangan karena disampaikan lewat cerita. Jadi, belajar lewat cerita. Orang tua, maupun anak-anak yang akan memelajarinya tidak perlu berpusing-pusing ria dengan berbagai hal sebagaimana yang biasa ditemui dalam buku-buku pelajaran bahasa Inggris yang lain. "Learn with fun!" Begitu kami menyebutnya.

Jadi, tunggu apa lagi? Anda ingin mengenalkan preposisi bahasa Inggris kepada anak dengan mudah? Kenalkan saja lewat serial ini! Kalimat sederhana, pola kalimat yang berulang, dan gambar yang menarik membuat belajar preposisi jadi menyenangkan. Selamat belajar!

Judul-judul dalam serial ini:
By, In, Into, Up, To, At, Out, On, With, Without, Of, Off

09 September, 2008

“Menggugat Pendidikan”

Di harian Kompas edisi Senin (8/09/2008) di kolom Humaniora-Didaktika, halaman 14, tertulis judul “Cara Unik Menggugat Pendidikan”. Hari jumat lalu, saya menulis mengenai pentingnya pendidikan, dan tak disangka-sangkat, Kompas pada hari Senin kemarin menurunkan tulisan dengan nada yang hampir sama, bahwa pendidikan adalah hak setiap orang.

Kalau boleh saya rangkum di sini, tulisan yang diturunkan Kompas bicara mengenai Ade Pudjiati (41) seorang guru piano jebolan Fakultas Sastra Inggris UI semester IV. Pada tahun akhir Agustus lalu, dia mendirikan SMP gratis Ibu Pertiwi di teras rumahnya. SMP gratis ini ditujukan bagi anak-anak lulusan SD dari keluarga miskin yang tidak diterima di SMP negeri atau di SMP swasta yang termurah sekalipun. Guru-guru sekolah ini berasal dari kalangan pendidik atau praktisi dan mereka tidak dibayar. Jadi, guru-guru umumnya berasal dari keluarga berpenghasilan cukup. Tidak hanya memberikan pendidikan, sekolah ini juga memberikan bimbingan psikologi dan jaminan kesehatan bagi siswa-siswinya. Bimbingan psikologi dimaksudkan untuk memulihkan mental anak-anak yang sebagian besar pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Biaya operasional sekolah ini enam juta rupiah per bulan, termasuk transportasi untuk siswa yang rumahnya jauh, santunan orang tua siswa, makanan, dan susu untuk siswa, serta biaya telepon dan internet. Dana untuk menutupi biaya operasional berasal dari uang pribadi dan donatur tidak tetap. Luar biasa!

Hal unik yang saya temukan dalam berita ini adalah, orang tua yang ketahuan merokok harus membayar iuran sebesar Rp 1.000,- per hari. Dengan peraturan seperti ini, tiga dari delapan orang tua siswa yang tadinya merokok, lantas menghentikan kebiasaannya.

Saya merasa unik dengan fenomena rokok itu karena rokok ternyata lebih penting daripada pendidikan, sehingga layak dijadikan sangsi di SMP gratis Ibu Pertiwi. Fenomena ini bukan sesuatu yang asing di Indonesia, khususnya Jakarta. Banyak orang sering mengeluh bahwa harga buku mahal, tapi ternyata mereka tidak segan-segan merogoh kocek ratusan ribu untuk beli pulsa, dan belanja barang-barang konsumtif. Mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Semuanya saling terkait. Lewat iklan-iklan yang menarik, perusahaan berusaha menarik pelanggan. Pelanggan yang tertarik mengeluarkan uang. Dengan omzet dan profit yang diperoleh, perusahaan bisa berkembang dan menarik banyak tenaga kerja. Sebuah proses saling imbal balik. Skema kecilnya seperti para bapak yang anaknya bersekolah gratis di SMP Ibu Pertiwi.

Seperti yang saya tulis dalam posting sebelum ini, seharusnya pemerintah dengan dinas terkait bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Tapi kenapa tidak dilaksanakan? Pertanyaan saya cenderung menjadi pertanyaan retoris. Tidak hanya seorang Ade Pudjiati yang sudah mencoba membuat terobosan pendidikan gratis. Di Kompas edisi hari Senin itu, ditulis juga beberapa nama. Seperti judul besar yang ditulis Kompas, yaitu menggugat pendidikan di Indonesia dengan cara unik, kenapa sampai kini pemerintah tidak juga sadar? Satu lagi pertanyaan retoris dari saya.

Tulisan ini masih berlanjut...

Bamboo, Velvet, dan Beak-Info Buku Baru





Bamboo, Velvet, dan Beak adalah sebuah serial yang mengisahkan persahabatan tiga hewan lucu, panda, seekor burung, dan keledai. Tiga hewan ini punya tempat favorit, yaitu sebuah tunggul kayu di tengah hutan hujan. Di tunggul itu, mereka bertiga setiap hari mengamati apa yang terjadi di sekitarnya, seperti hujan yang membuat mereka basah, pelangi yang berwarna-warni, bunga, dan banyak lagi. Serial ini mengajak anak-anak untuk mengenali beberapa hal yang ada di sekitar mereka. Kepolosan dan keluguan tokoh-tokoh yang ada di serial ini mewakili keluguan dan rasa ingin tahu anak-anak.
Dapatkan di toko-toko buku Gramedia terdekat di kota Anda! Atau bisa menghubungi tim pemasaran kami.

PT Elex Media Komputindo
Gedung Kompas-Gramedia, lt. 6
Jl. Palmerah Selatan 22-28,
Jakarta, 10270

(021) 548 3008, 548 0888
ext. 3316-3369 (pemasaran)

Showroom Buku & Layanan Langsung
Taman Meruya Blok E/14 no. 38-40
Komp. Taman Meruya Ilir, Jakarta
(021) 5851437-74, 536 99123-24
fax: (021) 585 1475

05 September, 2008

"Perlukah Sekolah?"

Kemarin sore, sepulang kantor, saya menyempatkan diri berjalan-jalan bersama istri dan kedua anak saya. Ujung-ujungnya sih cari jajanan. Istri dan anak saya yang pertama ingin makan sate padang, maka jadilah kita membeli sate padang. Sementara anak saya yang paling kecil belum mengerti untuk memilih, maka kita belikan bubur. Cerita sebenarnya bukan di sini, tapi pada apa yang kami temukan di kios tukang somay. Sore itu, sebenarnya saya tidak punya hasrat untuk jajan. Di dekat tempat istri saya membeli sate padang, banyak terdapat jajanan. Ada gorengan, kebab, martabak, otak-otak, pempek, soto mie, dan banyak lagi. Tapi, karena sore itu saya benar-benar tidak berhasrat, maka jajanan yang terpampang di depan mata tetap tidak menarik perhatian saya.


Saya tertarik membeli somay ketika menunggu istri saya memesan bubur untuk anak saya yang paling kecil. Entah kenapa, pilihan jajanan saya jatuhkan ke somay itu. Di kios somay, seorang anak yang mungkin usianya baru 12 tahun menyambut kami. Sebatang rokok yang barusan diisapnya terselip di antara jari tangannya. Sebagai seorang ayah, saya pribadi merasa agak aneh dengan apa yang saya lihat. Soalnya, saya membawa anak saya dan tentunya dia paham apa yang dia lihat. Takutnya, dia menganggap merokok bagi anak-anak adalah hal yang dibolehkan. Saya sudah menyiapkan jawaban kalau seandainya anak saya bertanya.


Seperti biasa, istri saya langsung memesan satu porsi somay sesuai kesukaan saya. Sambil menunggu, istri saya iseng mengajak bicara penjual somay itu. Kurang lebih dialognya seperti ini: "Kamu udah kelas berapa dik?" tanya istri saya. "Baru aja lulus SD," jawab anak itu. Istri saya kemudian balas bertanya: "Berarti sekarang udah SMP dong." "Nggak, saya nggak nerusin," kata anak itu. "Males. Sekolah capek," lanjutnya. "Terus, orang tua kamu ke mana? Kok kamu yang jualan?" tanya istri saya lagi. Sambil menjumputi somay satu per satu ke dalam plastik, anak itu menjawab: "Emak tinggal di kampung. Bapak nggak tahu sekarang pergi ke mana. Paling cari cewek." Istri saya sepertinya kaget dengan jawaban polos anak itu.


Jadilah fenomena kios somay itu pembicaraan kami di sepanjang perjalanan pulang. Anak yang putus sekolah dan seorang bapak yang suka bermain perempuan, tanpa malu diketahui anaknya. Dua hal yang menurut kami menarik, pertama soal pendidikan, dan kedua soal orang tua anak itu, atau lebih tepatnya tentang norma di dalam keluarga. Muncul pertanyaan dalam diri saya: "Benarkah pendidikan itu penting di kalangan mereka atau hanya sekedar buang-buang waktu dan tenaga?" Atau pertanyaan yang lebih struktural: "Sudahkah pendidikan menjawab kebutuhan mereka?"



Pendidikan sangat penting. Apalagi di Indonesia, pendidikan erat terkait dengan kesempatan bekerja. Idealnya, semakin terdidik, semakin luaslah kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, di Indonesia mungkin tidak bisa seideal itu. Lihat saja berita pengangguran di surat-surat kabar. Berapa persen yang merupakan pengangguran terdidik. Mungkin saja, sempat terlintas di benak anak penjual somay itu, atau mungkin di benak bapaknya, "Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau hanya jadi pengangguran? Cuma buang-buang tenaga dan biaya saja." Saya pikir, kalau paradigmanya seperti ini, tidak benar juga. Bisa jadi juga, paradigma seperti ini tidak hanya dianut oleh keluarga anak penjual somay tadi. Nah, mengenai pendidikan ini sebenarnya tugas siapa sih? Kalau menurut saya, tugas keluarga dan juga pemerintah. Amat disayangkan, kalau keluarga-keluarga di Indonesia sudah sadar akan pentingnya pendidikan, sementara pemerintahnya tidak mendukung. Begitu pula sebaliknya. Namun sayangnya, yang terjadi di Indonesia, pemerintah atau negara belum sepenuhnya peduli mengenai pentingnya pendidikan dan masa depan anak-anak. Tidak perlu dijelaskan lebih jauh, sepertinya sebagian besar dari kita tahu seperti apa carut marutnya pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia justru membuat orang kehilangan harapan. Selain biayanya mahal, fasilitas juga kurang memadai. Kalaupun ada biaya BOS, tidak jelas juntrungannya untuk apa. Kemampuan di murid di pelosok dan kota-kota besar juga tidak merata, tapi ketika ujian diberi soal yang bobotnya sama. Memang, mengurus pendidikan bukanlah hal yang mudah. Namun, kalau ada usaha tentunya bisa lebih baik lagi keadaannya. Selain keluarga, pemerintah juga perlu memberi kesadaran kepada masyarakat bahwa pendidikan itu penting. Bahwa pendidikan tidak semata-mata untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Atau bahwa pendidikan itu penting karena tidak semata-mata untuk memenuhi bursa tenaga kerja. Kalau paradigma yang diusung masih untuk memenuhi target kurikulum atau bursa kerja, bisa jadi yang sering muncul keluhan "capek deh!".


Kisah anak penjual somay yang saya sampaikan mungkin hanya salah satu kisah. Memajukan pendidikan juga menjadi tanggung jawab kita selaku orang tua. Namun demikian, pemerintah tidak bisa begitu saja lepas tangan, mengingat bahwa pendidikan juga merupakan tanggung jawab pemerintah lewat lembaga dan dinas-dinas terkait. Pendidikan juga bukan hanya hak segelintir orang yang berduit, tapi adalah hak semua orang. Bukankah negara akan punya daya saing yang cukup kalau punya sumber daya yang juga cukup kuat?

04 September, 2008

"Minimnya Penulis Buku Pengetahuan Anak Lokal"

Usia kanak-kanak identik dengan usia yang penuh rasa ingin tahu. Penuh rasa ingin tahu karena memang semua hal adalah baru bagi kanak-kanak. Setiap permainan, pola tingkah laku, dan celoteh mereka adalah belajar. Sesuatu yang dianggap usil oleh orang tua, bagi anak-anak adalah uji coba untuk mengenal sesuatu lebih jauh lagi. Mungkin, di pikiran merek belum terpola secara jelas pertanyaan mengapa atau bagaimana. Dorongan rasa ingin tahulah yang membawa mereka pada pencerahan baru. Apa yang belum pernah mereka lihat; apa yang belum pernah mereka rasakan; itulah hal baru bagi mereka. Sama seperti kita. Namun bedanya, banyak detail kecil tidak lagi kita perhatikan, pikiran orang dewasa sudah terfokus ke berbagai macam hal. Lagipula, orang dewasa senantiasa mengganggap diri sudah banyak tahu.

Anak bisa belajar langsung dari lingkungan sekitarnya, lewat interaksi keluarga, teman, atau segala situasi yang dihadapinya. Jawaban bisa langsung mereka peroleh dari interaksi tersebut. Namun demikian, tetaplah penting mendapatkan pengayaan dari buku-buku penunjang yang sesuai dengan tingkatan umur mereka. Saya rasa, kombinasi antara belajar "live" dengan membaca akan memberikan hasil yang maksimal bagi anak. Ketika membaca, mereka membayangkan dan mendramatisasi rangkaian tulisan di dalam buku. Ketika kembali berinteraksi dengan lingkungannya, bacaan yang mereka "telan" mulai menjadi acuan. Yang tadinya samar-samar, kini mereka alami di dalam lingkungan interaksi mereka. Pengetahuan yang mereka terima menjadi utuh. Yang tadinya mereka pikirkan, kini bisa mereka rasakan. Kalau di buku tertulis bunga melati itu wangi, maka pada kenyataannya, mereka bisa memetik bunga itu dan membauinya, sehingga realitas yang tadinya hanya ada di kepala, kini terwujud nyata di hadapan mereka. Kesimpulan baru terbentuk, "wanginya melati itu seperti ini. Kalau tidak seperti itu, berarti bukan bunga melati".

Berkaitan dengan belajar lewat pengalaman (learn by experience) saya pernah punya pengalaman menarik bersama anak saya yang berusia empat tahun. Jadi, suatu hari ketika sedang menengok rumah kami yang baru dibangun, di depan salah sebuah rumah yang sudah jadi, tumbuhlah serumpun pohon asoka. Pohon ini berdaun kecil-kecil, dengan bunga yang merumpun dan berwarna merah. Kelopak bunganya sendiri kecil-kecil. Benang sarinya panjang sampai ke pangkal batang bunga. Kalau benang sari itu ditarik, di ujung bagian dalamnya akan kita dapati setetes cairan yang rasanya manis. Itu adalah madu bunganya. Benang sari itu kemudian saya tunjukkan ke anak saya dan saya minta dia mencicipinya. Dia bilang, rasanya manis. Dia suka dengan pengalaman baru itu. Ceritanya menjadi lucu ketika seminggu kemudian saya mengunjungi adik saya di bekasi. Di kompleks perumahannya, tumbuh pohon kamboja yang sedang berbunga. Kebetulan, pohon-pohon kamboja itu tidak tumbuh tinggi. Jadinya, anak saya yang berusia empat tahun itu masih bisa meraih bunganya. Tanpa disuruh, anak saya memetik sekuntum bunganya, lalu kemudian pangkal bunga itu dia jilat. Spontan langsung wajahnya kecut dan berulang kali meludah. "Kok nggak manis, pa?" tanya anak saya itu. Spontan, saya dan istri tertawa dan kami kemudian menjelaskan. Sekalipun sama-sama bunga, tidak semua bunga bagian yang manis seperti bunga asoka yang dia cicipi seminggu lalu. Kini, dia menjadi tahu. Informasi baru Di situlah fokus utama learning by experience; pengalaman langsung. Buku, bisa berisi penjelasan lengkap, tapi tanpa kesempatan bagi indranya untuk mencicipi. Pengalaman langsunglah yang membuat pengetahuannya menjadi utuh.

Sayangnya, hanya sedikit penulis lokal yang peduli dengan perkembangan anak. Bandingkan saja dengan buku-buku dari penerbit luar negeri. Buku-buku dari penulis lokal yang menawarkan pengetahuan untuk anak-anak masih sangat minim. Royalti memang sempat jadi persoalan karena margin harga untuk buku-buku anak memang kecil, tidak seperti buku-buku orang dewasa yang bisa dibanderol sampai ratusan ribu rupiah per bukunya. Selain itu, proses produksi buku anak juga tidak bisa secepat buku-buku orang dewasa. Ilustrasi yang menjadi kekuatan rata-rata buku anak butuh waktu untuk mengolahnya. Penulis sering kali menjadi tidak sabar. Apalagi penulis baru yang karyanya ingin segera muncul di toko-toko buku dan agen. Oleh karena itu, tidak heran kalau buku-buku manajemen, komputer, atau novel lokal bisa booming. Sementara, buku-buku anak sendiri walaupun berjubel di rak toko buku, tetap masih minim penulis dalam negeri.