09 September, 2008

“Menggugat Pendidikan”

Di harian Kompas edisi Senin (8/09/2008) di kolom Humaniora-Didaktika, halaman 14, tertulis judul “Cara Unik Menggugat Pendidikan”. Hari jumat lalu, saya menulis mengenai pentingnya pendidikan, dan tak disangka-sangkat, Kompas pada hari Senin kemarin menurunkan tulisan dengan nada yang hampir sama, bahwa pendidikan adalah hak setiap orang.

Kalau boleh saya rangkum di sini, tulisan yang diturunkan Kompas bicara mengenai Ade Pudjiati (41) seorang guru piano jebolan Fakultas Sastra Inggris UI semester IV. Pada tahun akhir Agustus lalu, dia mendirikan SMP gratis Ibu Pertiwi di teras rumahnya. SMP gratis ini ditujukan bagi anak-anak lulusan SD dari keluarga miskin yang tidak diterima di SMP negeri atau di SMP swasta yang termurah sekalipun. Guru-guru sekolah ini berasal dari kalangan pendidik atau praktisi dan mereka tidak dibayar. Jadi, guru-guru umumnya berasal dari keluarga berpenghasilan cukup. Tidak hanya memberikan pendidikan, sekolah ini juga memberikan bimbingan psikologi dan jaminan kesehatan bagi siswa-siswinya. Bimbingan psikologi dimaksudkan untuk memulihkan mental anak-anak yang sebagian besar pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Biaya operasional sekolah ini enam juta rupiah per bulan, termasuk transportasi untuk siswa yang rumahnya jauh, santunan orang tua siswa, makanan, dan susu untuk siswa, serta biaya telepon dan internet. Dana untuk menutupi biaya operasional berasal dari uang pribadi dan donatur tidak tetap. Luar biasa!

Hal unik yang saya temukan dalam berita ini adalah, orang tua yang ketahuan merokok harus membayar iuran sebesar Rp 1.000,- per hari. Dengan peraturan seperti ini, tiga dari delapan orang tua siswa yang tadinya merokok, lantas menghentikan kebiasaannya.

Saya merasa unik dengan fenomena rokok itu karena rokok ternyata lebih penting daripada pendidikan, sehingga layak dijadikan sangsi di SMP gratis Ibu Pertiwi. Fenomena ini bukan sesuatu yang asing di Indonesia, khususnya Jakarta. Banyak orang sering mengeluh bahwa harga buku mahal, tapi ternyata mereka tidak segan-segan merogoh kocek ratusan ribu untuk beli pulsa, dan belanja barang-barang konsumtif. Mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Semuanya saling terkait. Lewat iklan-iklan yang menarik, perusahaan berusaha menarik pelanggan. Pelanggan yang tertarik mengeluarkan uang. Dengan omzet dan profit yang diperoleh, perusahaan bisa berkembang dan menarik banyak tenaga kerja. Sebuah proses saling imbal balik. Skema kecilnya seperti para bapak yang anaknya bersekolah gratis di SMP Ibu Pertiwi.

Seperti yang saya tulis dalam posting sebelum ini, seharusnya pemerintah dengan dinas terkait bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu. Tapi kenapa tidak dilaksanakan? Pertanyaan saya cenderung menjadi pertanyaan retoris. Tidak hanya seorang Ade Pudjiati yang sudah mencoba membuat terobosan pendidikan gratis. Di Kompas edisi hari Senin itu, ditulis juga beberapa nama. Seperti judul besar yang ditulis Kompas, yaitu menggugat pendidikan di Indonesia dengan cara unik, kenapa sampai kini pemerintah tidak juga sadar? Satu lagi pertanyaan retoris dari saya.

Tulisan ini masih berlanjut...

Tidak ada komentar: