04 September, 2008

"Minimnya Penulis Buku Pengetahuan Anak Lokal"

Usia kanak-kanak identik dengan usia yang penuh rasa ingin tahu. Penuh rasa ingin tahu karena memang semua hal adalah baru bagi kanak-kanak. Setiap permainan, pola tingkah laku, dan celoteh mereka adalah belajar. Sesuatu yang dianggap usil oleh orang tua, bagi anak-anak adalah uji coba untuk mengenal sesuatu lebih jauh lagi. Mungkin, di pikiran merek belum terpola secara jelas pertanyaan mengapa atau bagaimana. Dorongan rasa ingin tahulah yang membawa mereka pada pencerahan baru. Apa yang belum pernah mereka lihat; apa yang belum pernah mereka rasakan; itulah hal baru bagi mereka. Sama seperti kita. Namun bedanya, banyak detail kecil tidak lagi kita perhatikan, pikiran orang dewasa sudah terfokus ke berbagai macam hal. Lagipula, orang dewasa senantiasa mengganggap diri sudah banyak tahu.

Anak bisa belajar langsung dari lingkungan sekitarnya, lewat interaksi keluarga, teman, atau segala situasi yang dihadapinya. Jawaban bisa langsung mereka peroleh dari interaksi tersebut. Namun demikian, tetaplah penting mendapatkan pengayaan dari buku-buku penunjang yang sesuai dengan tingkatan umur mereka. Saya rasa, kombinasi antara belajar "live" dengan membaca akan memberikan hasil yang maksimal bagi anak. Ketika membaca, mereka membayangkan dan mendramatisasi rangkaian tulisan di dalam buku. Ketika kembali berinteraksi dengan lingkungannya, bacaan yang mereka "telan" mulai menjadi acuan. Yang tadinya samar-samar, kini mereka alami di dalam lingkungan interaksi mereka. Pengetahuan yang mereka terima menjadi utuh. Yang tadinya mereka pikirkan, kini bisa mereka rasakan. Kalau di buku tertulis bunga melati itu wangi, maka pada kenyataannya, mereka bisa memetik bunga itu dan membauinya, sehingga realitas yang tadinya hanya ada di kepala, kini terwujud nyata di hadapan mereka. Kesimpulan baru terbentuk, "wanginya melati itu seperti ini. Kalau tidak seperti itu, berarti bukan bunga melati".

Berkaitan dengan belajar lewat pengalaman (learn by experience) saya pernah punya pengalaman menarik bersama anak saya yang berusia empat tahun. Jadi, suatu hari ketika sedang menengok rumah kami yang baru dibangun, di depan salah sebuah rumah yang sudah jadi, tumbuhlah serumpun pohon asoka. Pohon ini berdaun kecil-kecil, dengan bunga yang merumpun dan berwarna merah. Kelopak bunganya sendiri kecil-kecil. Benang sarinya panjang sampai ke pangkal batang bunga. Kalau benang sari itu ditarik, di ujung bagian dalamnya akan kita dapati setetes cairan yang rasanya manis. Itu adalah madu bunganya. Benang sari itu kemudian saya tunjukkan ke anak saya dan saya minta dia mencicipinya. Dia bilang, rasanya manis. Dia suka dengan pengalaman baru itu. Ceritanya menjadi lucu ketika seminggu kemudian saya mengunjungi adik saya di bekasi. Di kompleks perumahannya, tumbuh pohon kamboja yang sedang berbunga. Kebetulan, pohon-pohon kamboja itu tidak tumbuh tinggi. Jadinya, anak saya yang berusia empat tahun itu masih bisa meraih bunganya. Tanpa disuruh, anak saya memetik sekuntum bunganya, lalu kemudian pangkal bunga itu dia jilat. Spontan langsung wajahnya kecut dan berulang kali meludah. "Kok nggak manis, pa?" tanya anak saya itu. Spontan, saya dan istri tertawa dan kami kemudian menjelaskan. Sekalipun sama-sama bunga, tidak semua bunga bagian yang manis seperti bunga asoka yang dia cicipi seminggu lalu. Kini, dia menjadi tahu. Informasi baru Di situlah fokus utama learning by experience; pengalaman langsung. Buku, bisa berisi penjelasan lengkap, tapi tanpa kesempatan bagi indranya untuk mencicipi. Pengalaman langsunglah yang membuat pengetahuannya menjadi utuh.

Sayangnya, hanya sedikit penulis lokal yang peduli dengan perkembangan anak. Bandingkan saja dengan buku-buku dari penerbit luar negeri. Buku-buku dari penulis lokal yang menawarkan pengetahuan untuk anak-anak masih sangat minim. Royalti memang sempat jadi persoalan karena margin harga untuk buku-buku anak memang kecil, tidak seperti buku-buku orang dewasa yang bisa dibanderol sampai ratusan ribu rupiah per bukunya. Selain itu, proses produksi buku anak juga tidak bisa secepat buku-buku orang dewasa. Ilustrasi yang menjadi kekuatan rata-rata buku anak butuh waktu untuk mengolahnya. Penulis sering kali menjadi tidak sabar. Apalagi penulis baru yang karyanya ingin segera muncul di toko-toko buku dan agen. Oleh karena itu, tidak heran kalau buku-buku manajemen, komputer, atau novel lokal bisa booming. Sementara, buku-buku anak sendiri walaupun berjubel di rak toko buku, tetap masih minim penulis dalam negeri.

Tidak ada komentar: